Pendidikan
merupakan aspek penting dalam perkembangan suatu daerah. Begitupun Pendidikan
bagi masyarakat Aceh merupakan aspek vital yang turut menentukan jalannya
pembangunan. Ketentuan penyelenggaraan pendidikan Aceh tertuang dalam Pasal 6
Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan; pelaksanaan pendidikan
di Aceh didasarkan pada Rencana Strategis Pendidikan (selanjutnya disebut
Renstra). Resntra ini juga nantinya
merujuk kepada Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006 tentang
pendidikan.
Berbeda
dengan pendidikan nasional yang memiliki 3 pilar dalam pendidikan, yaitu 1)Aksestabilitas,
mencakup di dalamnya adalah perluasan kesempatan belajar dan pemerataan
pendidikan; 2) Peningkatan mutu dan daya saing, 3) Peningkatan tata kelola,
akuntabilitas dan citra publik, maka Aceh sebagai daerah syariat islam yang butuh akan sistem pendidikan
yang berlandaskan nilai-nilai islami membuat Sistem Pendidikan Berbasis Nilai Islami
(SPBNI) di daerah syariat islam ini menjadi pilar tambahan dalam penyusunan
restra 2007-2012 . Hingga akhirnya SPBNI diputuskan sebagai pilar ke 4 untuk melengkapi
system pendidikan di Aceh.
Dalam
Qanun pendidikan 23 tahun 2002, sistem pendidikan yang dikembangkan di Aceh
ialah sistem pendidikan nasional yang bersifat Islami, yaitu system pendidikan yang berdasarkan pada
Al-Qur’an dan Hadist, nilai-nilai sosial budaya masyarakat Aceh, dan filsafat
hidup bangsa Indonesia. Namun belakangan dalam Qanun No. 5 tahun 2008, menyebutkan “Pendidikan islami adalah pendidikan yang yang berbasis
Al Quran dan sunnah rasul, tentu saja akan ditafsirkan dan diolah
sendiri bagi yang bertanggung jawab menyusun Renstra tersebut.
Namun,
permasalahan timbul ketika penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP)
yang
mewajibkan indikator dalam setiap perumusannya. Berbeda dengan pilar lainnya
yang memiliki indikator, maka penyusun renstra menghadapi kesulitan dalam
penentuan SPBNI ini, maka disusun lah indikatornya melalui ujian tahunan yang
dilakukan oleh guru dan kepala sekolah yang bersangkutan dan hasilnya dicatat
dan didokumentasikan sebagai bagian dari penilaian siswa tahunan, dan Indikator
lainnya adalah mewajibkan para siswa, laki-laki dan perempuan melakukan shalat
Dzuhur berjamaah dan dinilai dengan absensi kehadiran bersembahyang. (Renstra
NAD 2007-2011 :36) Lebih lanjut, indikator lainnya adalah Rasio musholla per sekolah, rasio guru agama dengan
siswa, rasio buku pelajaran agama islam dengan buka mata pelajaran lainnya, semua
yang sifatnya nyata terlihat dan bisa diukur pemerintah Aceh pada waktu itu
dan sudah berjalan selama lima tahun.
Hal
tersebut bukan hanya mengundang olok olokan bahkan kritikan tajam yang
menyatakan bahwa pemerintah tidak paham benar bagaimana konsep pendidikan yang
islami.
Seperti
apa sebenarnya sistem pendidikan berbasis nilai islami itu? Jika disebutkan
pendidikan islami, maka akan terbayang pendidikan islam sarat dengan dayah,
madrasah, dan perguruan tinggi islam seperti IAIN. Padahal, dalam konsep
besarnyanya, tujuan jangka panjang penyusunan Rencana Strategis Pendidikan NAD yang
termasuk SPBNI di dalamanya adalah “Terwujudnya pendidikan di Aceh yang merata
untuk semua anak, berkualitas tinggi, bersifat islami, dan mampu menghasilkan
lulusan yang kompetitif dalam rangka terwujudnya masyarakat Aceh yang maju, adil,
aman, damai dan sejahtera berlandaskan nilai nilai ajaran Islam serta memiliki
jati diri keacehan, berwawasan NKRI dan universal” (Renstra NAD 2007-2011 : 19)
Ini
artinya, bukan hanya institusi seperti madrasah, dayah, dan IAIN saja yang
wajib menerapkan SPBNI ini, akan tetapi segala institusi berkaitan dengan
pendidikan, mulai dari tingkat PAUD, SD, hingga perguruan Tinggi di Aceh.
Dalam
prosesnya, Sistem Pendidikan Berbasis Nilai Islami memiliki focus terhadap 6
hal, yaitu:
1. Pengembangan kepribadian islami bagi guru.
2. Pengembangan metode pengajaran berbasis nilai islami
3. Pengembangan kurikulum nasional dengan menambahkan nilai2
islam
4. Penyediaan buku teks yang diperkaya nilai2 islami
5. Pengembangan nilai2 islami dalam sekolah dan lingkungan
sekolah
6. Sinergitas dan harmonisasi proses pendidikan dalam upaya
menginternalisasikan nilai2 islami.
Dan
lagi-lagi masalah timbul disebabkan para penyusun renstra tidak memiliki
landasan kuat mengapa memasukkan 6 hal
tersebut sebagai focus dalam implementasi SPBNI. Hal ini bisa dimaklumi, karena dalam penyusunan
yang harus cepat dan sangat minim melibatkan riset di dalamnya, hingga berujung
pada bias dalam menentukan indikator keberhasilan pelaksanaan program SPBNI.
Dalam
sebuah FGD yang dilaksanakan, setidaknya sudah menemukan sedikit titik terang,
SPBNI yang tadinya sebagai salah satu pilar dalam pendidikan sudah selayaknya
menjadi Payung dari system pendidikan Di Aceh. Bahkan, ketua MPU Prof Prof. Dr.
Tgk H. Muslim Ibrahim MA menyarankan bahwa SPBNI adalah sebagai landasan/pondasi
dari ketiga pilar lainnya. Ini artinya setiap kegiatan/proses pendidikan
haruslah berlandaskan nilai-nilai islami. Jika pondasi tersebut kokoh, maka
kokoh pula tiang2 lainnya. Namun persoalan berikutnya adalah indikator apa
penentu keberhasilan pilar Sistem pendidikan Berbasis Nilai Islami tersebut?pertanyaan
lain juga terbesit, berhasilkah Pendidikan Sistem Pendidikan Berbasis nilai
islami ini?
Kenyataan
dilapangan justru kontradiktif, seperti pelajar terlibat tawuran (http://m.inilah.com/read/detail/1781757/siswa-sma-di-aceh-tawuran),
kenyataan pahit lainnya adalah Dinas Kesehatan
yang menunjukkan 70% pelajar di Lhokseumawe terlibat pergaulan bebas dan sek
bebas (http://atjehlink.com/memprihatinkan-free-sex-di-kalangan-pelajar-marak-di-lhokseumawe/)
. Dimanakah kedudukan nilai islami? ini artinya pemahaman nilai islami
belum menyeluruh, hanya sebatas prestasi dan symbol belaka.
Menurut
Prof. Yusni Sabi, Salah satu pendekatan yang bisa dilakukan adalah memasukkan
nilai islami melalui kurikulum, termasuk pembuatan buku ajar yang seharusnya
berasal dari pemerintah local, agar sesuai dengan kebutuhan dan keinginan
masyarakat Aceh. Bukan hanya dari segi buku ajar, namun juga keberadaan sekolah
yang bersih, nyaman dan rapi juga turut mencerminkan sifat islami.
Lebih
lanjut, Prof. Dr. Alyasa Abubakar, MA juga menyebutkan pentingnya indikator sebagai
ukuran keberhasilan pelaksanaan program. Seperti apa indikator islami itu,
suara mesjid yang keras, bukanlah mencerminkan nilai islami, justru hal-hal
kecil seperti yang perlu diperhatikan. Meskipun keinginan semua pihak dalam meningkatkan
keimanan, ibadah dan akhlak bagi peserta dan praktisi pendidikan, hal tersebut
juga memiliki indikator. Seperti yang diungkapkan oleh Dr.Mustanir Yahya
menyebutkan Indikator bukan hanya dapat dilihat secara kuantatif, namun juga
ada indikator kualitatif. Menurut beliau, beberapa Metode Dalam Pendidikan
Islam yaitu dari 1)Keteladanan
(Model),
2)Nasehat
dan 3)Adat pembiasaan.
Akhirnya,
Implementasi dari semua pihak, baik pemerintah, praktisi pendidikan, juga orang
tua turut menjadi contoh dan menerapkan system pendidikan berbasis nilai
islami. Hal ini pula yang nantinya mampu mengubah paradigma penerapan syariat
islam bukan hanya sebagai symbol belaka. Bukan malah mengundang olok olokan
wajib rok, no ngangkang, hingga keberadaan institusi yang mengamankan pelaku mesum dan
razia jilbab. Inilah yang menjadi pr besar bagi kita semua, bukan hanya
pemerintah sebagai pemilik otoritas, namun juga sinergitas semua pihak yang
turut mengawasi hingga benar-benar adanya perubahan yang lebih baik
berlandaskan pendidikan Berbasis Nilai Islami di Aceh.