Saturday, January 25, 2014

cerita di penyangga Tapal Batas Sumatera (Pulo Bunta/ Pulau Bunta)


Kali ini aku memposting tulisan tentang pengalaman backpackeran bersama teman-teman Aceh Adventure di masa liburan.
Sabtu 11 januari 2014, aku beserta rombongan aceh adventure, ada k wanti, yuli, putri, k cut, k Juliana, fahry, rahmat, sanca, b iqbal, yassir, ampon, rifky dan silman berkumpul di pos Aceh Adventure yang tepat berada di depan Polsek Kuta Alam Banda Aceh. Kami akan menuju Pulo Bunta, yaitu Pulau yang termasuk salah satu desa dari 26 desa kecamatan Peukan Bada, kabupaten Aceh Besar. 
Prepare to Pulo Bunta

Pulau Bunta ini memiliki tiga dusun, Ujung Bada, Mon Teungoh, dan Ujung Bilih, Sebelum Tsunami, Pulau ini dihuni lebih dari 60 KK, tapi setelah Tsunami hanya sekitar 40 an KK. Bukan sebagai tapal batas, tapi penyangga tapal batas, semaentara pulau terujung merupakan pulau Rondo. Perjalanan dimulai dengan menggunakan boat khusus, yaitu milik penduduk/ nelayan pulau bunta, setiap boatnya sebenarnya muat 13 orang, oleh karenanya, kami dengan jumlah 15 orang ditambah 6 orang penduduk asli pulau bunta termasuk pawang menggunakan 2 buah boat dari pulau tersebut. Tetapi untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, apalagi dengan menggunakan boat kecil, setiap boatnya hanya diisi dengan 10 penumpang sahaja. Kami berangkat dari pelabuhan Tempat Penampungan Ikan (TPI) yang ada di Lamteungoh, Aceh Besar. 
TPI Lamteungoh Aceh Besar

Perjalanan memakan waktu lebih kurang 1 jam 15 menit. Perjalanan 60 menit lebih itu sama sekali tidak membosankan, karena disepanjang jalan, banyak kita temui pulau-pulau Aceh lainnya, seperti kawasan wisata Lhok Mata-Ie, Pulau Batu, Pulau Tuan (yang konon katanya tempat yang asyik buat Diving), dan Pulau-pulau lainnya. 
Pemandangan pepulauan di sekitar pulau Bunta (kiri ke kanan: Lhok Mata ie, Pulau Batu, Pulau Tuan)





Hamparan birunya laut memuaskan pemandangan bebatuan besar di pulau juga menambah ketakjuban akan ciptaan Tuhan. Meskipun agak sedikit pusing dengan asap dan tidak terbiasa dengan bunyi boat, akhirnya tibalah kami di tepian pantai Pulau Bunta. Selama 2 hari satu malam kami ditemani oleh Pak Aryadi ketua pemuda pulau Bunta, beliau sangat ramah dan welcome sekali kepada kami dan pendatang pulau Bunta. Beliau sangat ingin suatu saat pulau ini dikenal bukan hanya masyarakat local tapi juga masyarakat internasional, sehingga nantinya bermanfaat dan mendatangkan hasil bagi masyarakat pulau tersebut. Berkat jasa beliau dan kelompok kecilnya mampu meyakinkan penduduk agar tidak menutup diri dan menerima masyarakat luar yang datang berkunjung.
Ini dia Ketua Pemuda Pulo Bunta Pak Aryadi sedang asyik bercerita

Sedikit Intermezo Cerita Tsunami selamat berkat insting sapi dan burung
Ketika Tsunami melanda, terdengar dentuman keras dari pulau ini, masyarakat sekitar mengira itu adalah dentuman senjata, karena di pulau ini juga termasuk tempat persembunyian dan basis angkatan bersenjata pada masa konflik. (hanya pernah disinggahi, karena persembunyiannya di pulau seberang). Ketika itu Pak Aryadi melihat ke arah laut, dentuman itu membuat surut air sehingga hampir setengah daratan lautan itu terlihat, pemandangan yang luar biasa memang. Beliau sempat terkesima sesaat, lalu tersadar ketika melihat sapi (orang aceh menyebutnya lembu) berlarian menjauh dari laut, burung-burung pun riuh ramai beterbangan. Pulau kecil yang ada di depannya juga terlihat tenggelam oleh air, sempat ia berpikir kalau pulau itu saja sudah tenggelam, apalagi rumah dan meunasah ini. Lalu sontak ia dan istrinya lari menuju ketinggian. Ketika keadaan dirasa sudah aman, ia dan istrinya kembali turun dari bukit, benar saja, rumah-rumah habis tanpa bekas (saat itu perumahan penduduknya adalah rumah panggung dan terbuat dari kayu). Akan tetapi, ada sebagian masyarakat yang tidak percaya akan datangnya bencana Tsunami, karena mereka dari pagi sudah pergi ke gunung dan tidak merasakan guncangan gempa yang maha dahsyat kala itu. Mereka beranggapan rumah-rumah mereka disembunyikan makhluk ghaib dan terus menerus berdoa meminta untuk dikembalikan. Bahkan, mereka menuding Pak Aryadi dan istrinya digelapkan matanya karena mereka tidak percaya akan adanya air laut yang sedemikian tingginya menghempas dan ‘membersihkan’ pulau mereka.

Perjalanan team di Pulau Bunta

Pulo Bunta
Menurut Pak Aryadi, dinamakan Pulau Bunta karena terlihat seperti Bungkuk Unta/ Unta yang sedang membungkuk. Tuh Liat pemirsah, kira-kira seperti unta yang sedang membungkuk gak yaaa?
Sesampainya di tepian pantai, harus rela berbasah-basahan, Karena kapal tak bisa mendarat ke daratan lebih jauh. Padahal, sudah ada pelabuhan yang didirikan oleh dinas perhubungan terkait, entah karena kekurangan dana atau apa, sehingga tidak dapat berfungsi dengan baik, berbeda dengan pelabuhan yang pernah dibangun masyarakat dulu sebelum tsunami yang naik/turun kapal tidak perlu berbasah-basahan, hanya saja, bangunan pelabuhan tersebut sudah dihampas Tsunami.
Atas : pelabuhan yang pernah dibangun warga
kapal mendarat sampai ke tepian pantai
bawah: pelabuhan yang dibangun pemerintah
pasca tsunami

Sesampainya di sana kami memberikan sedikit gula, kopi dan roti untuk pawang di sana, sekedar informasi keberangkatan menuju ke Pulau Bunta ini berdasarkan instruksi oleh pawang, kalau menurut si pawang dengan melihat bulan dan bintang nya oke, kita baru boleh jalan, karena beliau punya perhitungan khusus mengenai angin laut, jadi gak bisa sembarangan datang juga. Berbekal logistic yang cukup untuk 2 hari 1 malam kami pun sampai di tepian pantai. Logistic harus dibawa secukupnya, karena sesampai di sana sama sekali tidak ada kios ataupun penjaja makanan seperti dipantai wisata lainnya, 1 box mie instan sekarung beras, cukuplah untuk kebutuhan 15 orang, hanya, 3 galon air mineral ternyata gak cukup, mungkin lain kali such a good idea to bring beberapa box air mineral gelas. Akhirnya kekurangan air kami siasati dengan memasak air sumur tawar yang ada disekitar yang biasa juga sebagai air minum bagi warga setempat, tapi jujur ada rasa gak biasa waktu airnya masuk di kerongkongan, hihihi tapi hajjar aja, ketimbang haus :p.
Para lelaki abang-abang mulai mendirikan tenda untuk penginapan kami malamnya. 


Sebagian yang kakak2 mulai memasak untuk makan siang, berikut kopi acehnya yang gak pernah absen.
kopi Aceh gak pernah abseeen
Sementara sebagian lain bernarsis ria di pinggiran pantai, termasuk saya haha. Sementara ketika memasak, si babi hutan mulai menampakkan wujudnya, mungkin karena karena harum mi instan yang mengundang selera, tapi jangan khawatir, si babi gak nyerang manusia kok, termasuk ketika aku mau ke toilet, kita beradu pandang deg #eehhh salah focus, tapi karena aku manusia, aku biarkan dan mengalah biarkan dia yang menggunakan dulu sumurnya. Nah, untuk kebutuhan pembuangan jangan khawatir, kalau untuk sekedar pembuangan air kecil masih bisa dengan berjalan kaki kira2 Cuma 50 meter ada sumur tapi gak ada penutupnya, kalo buat air besar harus sedikit berjalan lagi ke rumah pawang, jadi gak perlu khawatir ada wc terbang atau wc nanem.
Hari pun mulai gelap, kita berjalan ke ujung bili untuk mengabadikan sunset, tapi sayangnya sunsetnya gak terlalu cettar karena ditutupi awan, nah di ujung bili ini kami banyak menemukan karang merah. 
Sunset di ujung Bilih


Karang merah ini unik lho pemirsah, gak banyak pulau yang memiliki kerang merah, hanya beberapa saja, dan jenis kerang ini ditenggarai sudah hampir punah.
Karang Merah di sekitar Ujung Bilih
Tapi sayang, kerang-kerang merah ini pecah dan terdampar hingga terlepas dari induknya, salah satunya disebabkan pengeboman ikan yang dilakukan nelayan yang tidak bertanggung jawab yang mengitari pulau elok tersebut. Kalau yang sudah terdampar dan mati, akan bewarna merah pucat, sementara yang masih baru, bewarna merah hati. Sebenarnya kalau airnya gak pasang, kita bisa menyeberang ke pulau seberangnya, yaitu pada pukul 11 siang, sementara pada pukul 2, air sudah mulai meninggi dan sulit bagi kita menyeberang karena karang-karang yang sangat tajam yang lumayan sulit dilalui.
Usai menikmati sunset, kita kembali ke perkemahan, memasak mie instan dan telur ala chef Fahry dkk, sementara yang lainnya memasang tenda lainnya untuk anak laki2, sementara yang lain lagi berfoto2 narsis dengan memanfaatkan cahaya dari api unggun dan senter. 

Oiyah, sangat disarankan untuk membawa lampu emergency, senter, juga power bank, karena di sini sulit mendapatkan listrik, listrik ada di daerah mercusuar, itu pun dengan menggunakan tenaga panel surya. yang letaknya cukup jauh.
Karena kelamaan menunggu nasi yang tak kunjung mateng karena angin kencang pake sangat, akhirnya beberapa dari kami ketiduran di dalam tenda, angin semakin kencang, tenda pun nyaris terbang, hingga akhirnya jam 2 pagi pawang menginstruksikan supaya kami tidur di menasah, karena tidak memungkinkan tidur di bibir pantai dengan angin yang membahana badday seperti itu. Dan akhirnya kami bobo cantik di meunasah, tidur cepat karena berencana pagi menuju iku manee untuk melihat sunrise. Dan yang uniknya, di pulau ini sama sekali gk ada monyet, dan nyamuk juga gak gigit, semut merahnya juga demikian, rombongan semutnya dibiarin aja dikaki gak bakalan gigit, ruar biasa kan =D.
Pagi dataaaang! Sudah diprediksikan kagak ada yang bangun pemirsah, ada sih tapi berat buanget buat beranjak haddeuh. Dan akhirnya jam setengah 7 pagi, selesai subuh, aku mengejar matahari di pinggiran pantai ditempat kami pasang tenda semalam. Subhanallah, matahari masi nungguin akyuwww ^^ akhirnya dapet deng puto sunrise hehehehe.
Sunrise Pulo Bunta
Selesai sarapan dengan mie instan again, kita berjalan ke daerah di mana mercusuar berada, atawa disebut dengan iku manee, perjalanan menempuh kira-kira 1 jam lah, tapi jadi lebih lama karena di tiap tanjakan kita selalu berhenti buat bernarsis ria, abis gak tahan cyiiin pemandangannya buagooos buangettt.



Perjalanan cukup melelahkan, akhirnya kami sampai di mercusuar, kalo orang sekitar sini menyebutnya menara suar.
Menara Suar
Nah, mercusuar ini masi berfungsi sebagai lampu penunjuk bagi kapal sebagai penanda bahwa di sini ada pulau. Di situ juga terletak kantor penjaga pantai yang mengawasi navigasi dan koordinat mercusuar tersebut.
Ditengah-tengah ini ada pulau cinta, karena bentuknya seperti love sendiri ditengah tapi gak bisa diseberangi, karena gak ada boat.

Akhirnya, kelelahan dalam perjalanan terbayar dengan pemandangan yang ruaaar biate di iku manee ini whoooowwh. Sampe lupa kalo tadi kami udah jalan berkilo-kilo ditengah terik matahari ditambah jalanan curam yang menanjak.

Cukup lama kami menghabiskan waktu di iku manee yang tempatnya mirip grand canyon kawe ya :p di atas bukit aku melihat jurang lautan, di jurang itu terklihat satu-satunya ikan bewarna tosca, cakep banget, ternyata ikan bayen, sayangnya sebenarnya ada segerombolan, tapi mungkin karena ingin menyendiri atau juga bisa disebabkan dengan pengeboman nelayan sekitar pulau yang menangkap ikan, jadinya ikannya Cuma satu deng. Kata pak aryadi sih, ikan itu enak, tapi aku kasian, kok dimakan sik, pan tinggal seekor T_T.


Akhirnya setelah berlama-lama dan poto keluarga, kami kembali ke peraduan, nah, kali ini penat matahari mulai kerasa, akhirnya kita berteduh dikantor penjaga pantai tadi, disambut dengan ramah oleh bapak-bapak di sana. Kamipun berleha-leha dan tegechak update2 status karena ada sinyal, juga ada tv *whaaa padaal baru sehari gak ada listrik dan susah sinyal ckckck.


Karena berniat menyeberang pulau yang dekat dengan ujung bili sebelum airnya pasang, maka kami pun beranjak dari tempat tersebut, menuju pos dan mengangkut barang-barang untuk pindah pos ke dekat pelabuhan. Akhirnya setelah makan siang, kami ke ujung bili dan ternyata air sudah agak meninggi, Pak Aryadi tetap menyebrang di pulau seberang sementara kami kembali karena kaki terasa perih dan tergores karang sangat sulit berjalan di antara karang-karang dengan air laut yang mencapai pinggang dewasa. Lagian kami kasihan menginjak karang, merusak ekosistem dan biota laut kan yak.
Sementara sang Chef memasak mie instan dan telur di atas balee (rumah kecil di pinggir pantai) kami bercengkerama dan melihat hasil jeprat jepret dari kamera yuli, k jupe, dan ampon. Ehh tetiba si pak aryadi datang dengan membawa binatang laut bewarna ungu. Cuantik beud. Namanya subang gadung. Bentuknya seperti tempurung kura-kura, dan dibaliknya ada tentakel seperti cumi-cumi. 

si bapak juga membawa keong yang asik dibuat gulai pliek u (ketinggalan di pelabuhan T_T) dan 2 ekor subang gadung tadi. Nahh, subang gadung ternyata bisa di makan pemirsah, karena penasaran, akhirnya salah satu terpaksa dikorbankan dibakar di bawah batok kelapa sementara yang satunya dilepas karena kasihan.
Tereeeng akhirnya subang gadung sudah matang, ketika dibelah, isinya seperti telur ikan, dan rasanya manceps, lezattos,  seperti rasa kerang, ada juga yng bilang rasa kepiting. Nahhh karena enak, celetuk tuh salah satu teman “mana yang tadi dilepas? Uda jauh belum yahhh” hahhaa dassarr :p
Subang Gadung

Okey then, hari udah mulai sore, makanan juga uda abis, akhirnya tiba waktu pulang, ternyata angina makin sore makin kuenceng, pertanda angin badai akan datang. Sempat kami ragu untuk balik ke banda aceh. tapi mau gimana harus back to daily routine… akhirnya beber azah, kami berangkat dengan dua kapal, kapal/ boat kecil yang aku naiki ruarr biasa serunya, seperti rafting,  hahah aku malah senang, tapi temen satunya kaka juli ehhh pucat abis pemirsah, sabar ya kaka :D dikibulin fahry abis belokan uda nyampe- cyeilee emang di laut ada belokan ya --“ sekalian aja lampu merah paaak- akhirnya kami tiba di banda aceh dengan selamat sentosa dan sejahtera. Aku bawa oleh-oleh karang merah – tapi hanya potongan kecil yang terdampar di tepian pantai, ini karena g bole bawa banyak-banyak, karena kerang merah ini harta nya pulo Bunta, harus dilestarikan- daaan satu lagi, sampah-sampah semua harus dibawa pulang ya, karena demi menjaga kebersihan alam dan tidak mencemari lingkungan, semoga semua backpacker sadar akan hal itu amiiin, kasian kan udah menikmati alamnya eh malah nyampah, bener-bener dehhh ;/.
Hasil menyampah di Pulo Bunta yang dibawa balik ke Banda Aceh

Wuiiih what a fascinating trip with a solid team Bunta island, even just two days :D. ingin mengulang petalangan lagi, tapi di tempat berbeda, next time yak. Terima kasih aceh adventure, terima kasih k wanti, k juli, k icut, yuli, putri, nadia, dea, rifky, ampon, rahmat, sanca, fahry, silman, yassir, b iqbal, such a nice experience with u guys =D dan juga pak Aryadi dan penduduk Pulo Bunta yang ramah tamah. Eiyah, sekedar informasi, bulan maret 2014 mendatang, salah satu step yang dilakukan pemerintah dan juga pak aryadi dan kelompoknya adalah mengupayakan pengadaan Boat khusus yang lebih bagus, untuk akses para wisatawan yang mau berkunjung ke pulo Bunta, semoga lancar jaya ya, dan dukungan pemerintah sepenuhnya secara serius sangat diharapkan, karena penduduk Bunta sendiri sudah mulai menerima pendatang, terbukti sangat bersikap ramah pada kami, hal ini agar Pulo Bunta yang eksotis ini dapat dikenal oleh masyarakat luar dan memberi manfaat bagi penduduk setempat, bukan hanya menjadi destinasi wisatawan local tapi juga wisatawan mancanegara. Amiiiiiin.
Penjelajah Pulo Bunta