Opini
Substansi Nilai Islami dalam
Syariat
Sepak
terjang penerapan syariat islam di Aceh sudah sejak lama bergaung, mulai dari
mangkirnya janji Presiden Soekarno, hingga masa Orde Baru yang nyaris menghilangkan
syariat islam melalui perubahan peraturan undang undang pemerintahan daerah
menjadi undang-undang pemerintahan di daerah yaitu UU No 5 tahun 1974, dalam UU
ini penegakkan syariat islam yang menjadi salah satu keistimewaan yang
diberikan untuk Aceh tidak pernah disinggung lagi. Namun kegundahan tersebut
tidak berlangsung lama, pada masa reformasi,
Presiden BJ Habibie menandatangani UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh yang meliputi bidang agama, adat, pendidikan
dan peran ulama dalam kebijakan. Kemudian penerapan syariat islam pun
mulai mengalami titik terang tatkala penandatanganan Undang Undang otonomi
khusus Nomor 18 tahun 2001 oleh presiden Megawati yang membenarkan
pembentukan Mahkamah Syari’ah baik pada tingkat rendah ataupun tingkat tinggi,
wewenangnya meliputi seluruh bidang syari’at yang berkaitan dengan peradilan
dan menyatakan kedudukan peradilan tersebut sama dengan peradilan umum. Dari
sinilah penerapan syariat islam dibawah kepemimpinan Gubernur Abdullah Puteh menemukan
momentum, tepatnya 1 Muharranm 1423 mulai diterapkan secara kaffah di Aceh. Lalu
bagaimana penerapannya sekarang? 14 tahun sudah penerapan syariat islam di
aceh. Selama itu pula syariat islam menjadi hukum atau aturan bagi masyarakat
aceh. Mengutip sedikit pendapat Doktor Saifuddin Dhuhri, ketika syariat menjadi
hagemoni, maka penerapannya akan bersifat koersif. Hal demikian benar adanya,
ketika dibentuknya polisi syariat di bawah dinas syariat islam, maka keberadaan
lembaga tersebut adalah sebagai pengontrol jalannya syariat islam di serambi
mekkah ini. Hukuman cambuk pun tidak segan-segan diberlakukan bagi mereka yang
melanggar, mulai dari maisir, khalwat, dan khamar yang belakangan menjadi
perdebatan oleh Amnesty International
(AI). Sedikit mengoreksi mengenai artian khalwat, khalwat adalah kegiatan
spiritual yang dilakukan oleh Nabi Muhammad yang dilakukan di Gua Hira sampai
beliau menerima wahyu. Khalwat bukanlah kegiatan biasa, ini adalah kegiatan
yang sarat makna, sebuah proses untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Khalwat juga disebut uzlah atau mengasingkan diri dari keramaian untuk
membersihkan hati sehingga dengan sempurna menerima petunjuk dari Allah SWT. Kegiatan ini khalwat atau
bersunyi diri untuk mendekatkan diri kepada Allah tetap diteruskan Nabi
terutama di 10 hari menjelang akhir Ramadhan. Padanan kata Khalwat sendiri
merupakan I’tikaf. (baca: Sufimuda) Namun belakangan kata khalwat ini diartikan
menjadi berdua duaan, pacaran, yang dengan negative bermakna mesum. Entah dari
mana perubahan kata tersebut, hal ini bisa diakibatkan oleh segelintir orang
yang justru ingin menghilangkan makna kata dari tradisi islam itu sendiri.
Sehingga menjadi benar kalau istilah khalwat yang melenceng ini terus
dipopulerkan, bukan suatu hal yang mustahil suatu generasi kelak akan bertanya,
“Koq Nabi yang mulia mau melakukan Khalwat????” Oleh karenanya penggunaan
istilah ini sudah seharusnya diluruskan.
Menanggapi
pemberitaan serambi, 16 juli mengenai Grand
Desain Syariat Islam Butuh Dukungan Semua Pihak. Maka sebenarnya dibutuhkan
sebuah upaya pembelajaran evaluasi, apakah program syariat islam selama ini
sudah maksimal atau belum, apa sebenarnya visi yang diharapkan mampu tercapai?
Sedikit
saya menyuguhkan hasil penelitian ”How Islamic are Islamic Countries” penelitian
ini dilakukan oleh Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George
Washington University. Hasilnya dipublikasikan dalam Global Economy Journal
(Berkeley Electronic Press, 2010). Pertanyaan dasarnya adalah seberapa jauh
ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat Muslim dalam
kehidupan bernegara dan sosial?
Penelitian
ini melibatkan beberapa Negara sebagai sampel termasuk Negara mesir. Indikator
pun diambil dari ajaran islam melalui Alquran dan hadist. Pertama, ajaran Islam
mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia. Kedua,
sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial.
Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia
dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional
dan masyarakat non-Muslim.
Menurut
hasil penelitian, New Zealand berada di urutan pertama negara yang paling
islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua, lalu Ireland,
Iceland dan Negara-negara eropa lainnya. Sementara Indonesia yang mayoritas
penduduknya Muslim menempati urutan ke-140. Sementara Mesir sebagai Negara
islam, menduduki peringkat 153. Sungguh ironis.
Hal
demikian diungkapkan Muhammad Abduh, ulama besar Mesir, setelah berkunjung ke
Eropa, Beliau mengatakan ”Saya lebih melihat Islam di Eropa, tetapi kalau orang
Muslim banyak saya temukan di dunia Arab,” katanya. Benar saja, budaya antri,
saling tolong menolong, kejujuran, menjaga kebersihan dan nilai nilai islami
lainnya banyak kita lihat di negara2-negara seperti eropa, jepang ketimbang di
Indonesia atau Timur tengah yang notabene penduduknya muslim.
Belajar
dari penelitian tersebut, maka sudah selayaknya kita mampu mengartikan seperti
apa nilai islam itu sendiri. Bukan hanya sebatas simbolis, tapi bagaimana
substansi keislaman tersebut mampu tercermin.
Pendidikan berbasis nilai islami
Sebagai
otonomi khusus, Aceh memiliki peraturan khusus menegenai pelaksanaan
pendidikan, di antaranya Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pendidikan & Pasal 6 Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan, maka aceh diberikan keleluasaan dalam memasukkan
system pendidikan berbasis nilai islami sebagai pilar keempat dalam pendidikan.
berbeda dengan system pendidikan nasional yang hanya memiliki 3 pilar
pendidikan, yaitu; 1) aksestabilitas, mencakup di dalamnya perluasan kesempatan
belajar dan pemerataan pendidikan; 2) peningkatan mutu dan daya saing, dan 3)
peningkatan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik. Namun, sungguh ganjil
jika melihat keadaan dilapangan, seolah2 program diniyah, penambahan jam ajar
agama menjadi 4 jam, tidak juga mampu mengubah perilaku dan cerminan islami
oleh anak didik yang tentunya menjadi penerus bangsa. Tawuran, bahkan data Dinas
Kesehatan Provinsi (Dinkesprov) Aceh pada tahun 2012 lalu, di mana Lhokseumawe
menduduki peringkat pertama terbanyak pelaku seks pra-nikah di kalangan
pelajar, yaitu 70 persen, menyusul Banda Aceh sebanyak 50 persen (Serambi
15/2/2013) Naudzubillah! Di sini penulis bukan berniat untuk menelanjangi, tapi
inilah fakta. Apa sebenarnya yang salah? Hal ini perlu menjadi kajian dan
evaluasi lebih lanjut. Dalam hasil penelitian Implementasi Sistem Pendidikan
Islami di Aceh yang pernah dilakukan, berdasarkan FGD, wawancara, dan kuisioner,
yang diharapkan oleh masyarakat adalah, Sistem Pendidikan Berbasis Nilai Islami
seyognya menjadi pondasi dalam system pendidikan kita. Pendidikan islam yang
diberikan bukan semata-mata hafalan, akan tetapi bagaimana caranya islam
tercermin dari perilaku afeksi, kognisi dan psikomotorik. Bagaimana sifat
jujur, disiplin, hemat, sabar, ikhlas, yang didapat dari kebiasaan baik di sekolah
maupun keluarga serta lingkungan masyarakat. Bukan hanya anak didik, tapi juga
lingkungan sekolah, aman, bersih, rapi
serta juga guru sebagai tenaga pendidik yang turut mencerminkan nilai
islami. Mungkin di sini ada yang kita lupakan, penerapan islam hanyalah sebatas
simbolis. Masih banyak kita lihat orang tua menerobos lampu merah, rasa tidak
sabar pun turut diperlihatkan ketika lampu lalu lintas masih merah klakson pun
bersahut sahutan, konon lagi belum seperempat detik lampu hijau menyala, bahkan
hal itu pun terjadi di depan masjid termasuk ketika jam sholat. Hal ini tentu
menjadi dilema bagi anak didik, ketika disekolah diajarkan taat peraturan, tapi
di lapangan ia menghadapi kenyataan yang berbeda. Untuk itulah, diperlukan
sinergitas semua pihak dalam pelaksanaan mengajarkan nilai-nilai islami, jangan
ada mata rantai yang terputus. Sehingga dalam contoh kecil, nantinya berkurang
kekhawatiran orang tua, sepeninggalnya mampukah anak menjadi imam ketika ia
sudah tiada. Oleh karenanya dibutuhkan suatu system islami yang menjadi
substansi dalam perilaku seluruh masyarakat aceh, yang mana hal ini mampu
menjadi warisan bagi generasi penerus. Akhirnya, syariat islam tidak lagi
menjadi paksaan akan tetapi menjadi kesadaran yang hidup dalam diri manusia,
tidak lagi dalam aturan, no ngankang, no nari yang justru menjadi cemoohan
orang belaka. Sedikit mengutip pendapat Prof Yusni jangan kita mengumbar kita
adalah kota dengan syariat islam ngeri kita berbicara islami sementara keadaan
masih seperti ini, tapi sebutlah dan wujudkan kotamadya ini dengan kota madani.
Baik faktor orang, bangunan, system semua bersifat madani. Kota yang bersih,
nyaman, pendidikan yang berkualitas, bebas korupsi, penipuan, tindakan kriminal,
serta masyarakat yang bersahaja menjadi dambaan setiap orang. Sehingga nantinya
Aceh mampu menjadi percontohan dan titik tolak cerminan sikap islami, seperti
apa substansi islami itu, bukan hanya syariat islam yang dilambangkan dengan
symbol dan hukum semata. Semoga tulisan ini bermanfaat dan mampu menjadi
masukkan dalam desain syariat islam di Aceh kita tercinta ini Amin.
Siti
Sarah S. I.kom (yang sekarang Sudah M.Si)
Penulis
Alumnus FISIP Unsyiah (Sekarang sudah alumnus UI)
Email:
alsarah17@gmail.com
noted:
Ini adalah tulisan lama yang entah kenapa bisa lupa dikirimkan ke media, sebagai opini, yah tapi tidak mengapa, ini hanya tambahan wawasan dan latihan menulis.