Monday, August 17, 2015

Substansi Nilai Islami dalam Syariat

Opini                                                                    
Substansi Nilai Islami dalam Syariat                

Sepak terjang penerapan syariat islam di Aceh sudah sejak lama bergaung, mulai dari mangkirnya janji Presiden Soekarno, hingga masa Orde Baru yang nyaris menghilangkan syariat islam melalui perubahan peraturan undang undang pemerintahan daerah menjadi undang-undang pemerintahan di daerah yaitu UU No 5 tahun 1974, dalam UU ini penegakkan syariat islam yang menjadi salah satu keistimewaan yang diberikan untuk Aceh tidak pernah disinggung lagi. Namun kegundahan tersebut tidak berlangsung lama, pada  masa reformasi, Presiden BJ Habibie menandatangani UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh yang meliputi bidang agama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam kebijakan.  Kemudian penerapan syariat islam pun mulai mengalami titik terang tatkala penandatanganan Undang Undang otonomi khusus Nomor 18 tahun 2001 oleh presiden Megawati yang membenarkan pembentukan Mahkamah Syari’ah baik pada tingkat rendah ataupun tingkat tinggi, wewenangnya meliputi seluruh bidang syari’at yang berkaitan dengan peradilan dan menyatakan kedudukan peradilan tersebut sama dengan peradilan umum. Dari sinilah penerapan syariat islam dibawah kepemimpinan Gubernur Abdullah Puteh menemukan momentum, tepatnya 1 Muharranm 1423 mulai diterapkan secara kaffah di Aceh. Lalu bagaimana penerapannya sekarang? 14 tahun sudah penerapan syariat islam di aceh. Selama itu pula syariat islam menjadi hukum atau aturan bagi masyarakat aceh. Mengutip sedikit pendapat Doktor Saifuddin Dhuhri, ketika syariat menjadi hagemoni, maka penerapannya akan  bersifat koersif. Hal demikian benar adanya, ketika dibentuknya polisi syariat di bawah dinas syariat islam, maka keberadaan lembaga tersebut adalah sebagai pengontrol jalannya syariat islam di serambi mekkah ini. Hukuman cambuk pun tidak segan-segan diberlakukan bagi mereka yang melanggar, mulai dari maisir, khalwat, dan khamar yang belakangan menjadi perdebatan oleh Amnesty International (AI). Sedikit mengoreksi mengenai artian khalwat, khalwat adalah kegiatan spiritual yang dilakukan oleh Nabi Muhammad yang dilakukan di Gua Hira sampai beliau menerima wahyu. Khalwat bukanlah kegiatan biasa, ini adalah kegiatan yang sarat makna, sebuah proses untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Khalwat juga disebut uzlah atau mengasingkan diri dari keramaian untuk membersihkan hati sehingga dengan sempurna menerima petunjuk dari Allah SWT. Kegiatan ini khalwat atau bersunyi diri untuk mendekatkan diri kepada Allah tetap diteruskan Nabi terutama di 10 hari menjelang akhir Ramadhan. Padanan kata Khalwat sendiri merupakan I’tikaf. (baca: Sufimuda) Namun belakangan kata khalwat ini diartikan menjadi berdua duaan, pacaran, yang dengan negative bermakna mesum. Entah dari mana perubahan kata tersebut, hal ini bisa diakibatkan oleh segelintir orang yang justru ingin menghilangkan makna kata dari tradisi islam itu sendiri. Sehingga menjadi benar kalau istilah khalwat yang melenceng ini terus dipopulerkan, bukan suatu hal yang mustahil suatu generasi kelak akan bertanya, “Koq Nabi yang mulia mau melakukan Khalwat????” Oleh karenanya penggunaan istilah ini sudah seharusnya diluruskan.
Menanggapi pemberitaan serambi, 16 juli mengenai Grand Desain Syariat Islam Butuh Dukungan Semua Pihak. Maka sebenarnya dibutuhkan sebuah upaya pembelajaran evaluasi, apakah program syariat islam selama ini sudah maksimal atau belum, apa sebenarnya visi yang diharapkan mampu tercapai?
Sedikit saya menyuguhkan hasil penelitian ”How Islamic are Islamic Countries” penelitian ini dilakukan oleh Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University. Hasilnya dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010). Pertanyaan dasarnya adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial?
Penelitian ini melibatkan beberapa Negara sebagai sampel termasuk Negara mesir. Indikator pun diambil dari ajaran islam melalui Alquran dan hadist. Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia. Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial. Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim.
Menurut hasil penelitian, New Zealand berada di urutan pertama negara yang paling islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua, lalu Ireland, Iceland dan Negara-negara eropa lainnya. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140. Sementara Mesir sebagai Negara islam, menduduki peringkat 153. Sungguh ironis.
Hal demikian diungkapkan Muhammad Abduh, ulama besar Mesir, setelah berkunjung ke Eropa, Beliau mengatakan ”Saya lebih melihat Islam di Eropa, tetapi kalau orang Muslim banyak saya temukan di dunia Arab,” katanya. Benar saja, budaya antri, saling tolong menolong, kejujuran, menjaga kebersihan dan nilai nilai islami lainnya banyak kita lihat di negara2-negara seperti eropa, jepang ketimbang di Indonesia atau Timur tengah yang notabene penduduknya muslim.
Belajar dari penelitian tersebut, maka sudah selayaknya kita mampu mengartikan seperti apa nilai islam itu sendiri. Bukan hanya sebatas simbolis, tapi bagaimana substansi keislaman tersebut mampu tercermin.
Pendidikan berbasis nilai islami
Sebagai otonomi khusus, Aceh memiliki peraturan khusus menegenai pelaksanaan pendidikan, di antaranya Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pendidikan & Pasal 6 Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, maka aceh diberikan keleluasaan dalam memasukkan system pendidikan berbasis nilai islami sebagai pilar keempat dalam pendidikan. berbeda dengan system pendidikan nasional yang hanya memiliki 3 pilar pendidikan, yaitu; 1) aksestabilitas, mencakup di dalamnya perluasan kesempatan belajar dan pemerataan pendidikan; 2) peningkatan mutu dan daya saing, dan 3) peningkatan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik. Namun, sungguh ganjil jika melihat keadaan dilapangan, seolah2 program diniyah, penambahan jam ajar agama menjadi 4 jam, tidak juga mampu mengubah perilaku dan cerminan islami oleh anak didik yang tentunya menjadi penerus bangsa. Tawuran, bahkan data Dinas Kesehatan Provinsi (Dinkesprov) Aceh pada tahun 2012 lalu, di mana Lhokseumawe menduduki peringkat pertama terbanyak pelaku seks pra-nikah di kalangan pelajar, yaitu 70 persen, menyusul Banda Aceh sebanyak 50 persen (Serambi 15/2/2013) Naudzubillah! Di sini penulis bukan berniat untuk menelanjangi, tapi inilah fakta. Apa sebenarnya yang salah? Hal ini perlu menjadi kajian dan evaluasi lebih lanjut. Dalam hasil penelitian Implementasi Sistem Pendidikan Islami di Aceh yang pernah dilakukan, berdasarkan FGD, wawancara, dan kuisioner, yang diharapkan oleh masyarakat adalah, Sistem Pendidikan Berbasis Nilai Islami seyognya menjadi pondasi dalam system pendidikan kita. Pendidikan islam yang diberikan bukan semata-mata hafalan, akan tetapi bagaimana caranya islam tercermin dari perilaku afeksi, kognisi dan psikomotorik. Bagaimana sifat jujur, disiplin, hemat, sabar, ikhlas, yang didapat dari kebiasaan baik di sekolah maupun keluarga serta lingkungan masyarakat. Bukan hanya anak didik, tapi juga lingkungan sekolah, aman, bersih, rapi  serta juga guru sebagai tenaga pendidik yang turut mencerminkan nilai islami. Mungkin di sini ada yang kita lupakan, penerapan islam hanyalah sebatas simbolis. Masih banyak kita lihat orang tua menerobos lampu merah, rasa tidak sabar pun turut diperlihatkan ketika lampu lalu lintas masih merah klakson pun bersahut sahutan, konon lagi belum seperempat detik lampu hijau menyala, bahkan hal itu pun terjadi di depan masjid termasuk ketika jam sholat. Hal ini tentu menjadi dilema bagi anak didik, ketika disekolah diajarkan taat peraturan, tapi di lapangan ia menghadapi kenyataan yang berbeda. Untuk itulah, diperlukan sinergitas semua pihak dalam pelaksanaan mengajarkan nilai-nilai islami, jangan ada mata rantai yang terputus. Sehingga dalam contoh kecil, nantinya berkurang kekhawatiran orang tua, sepeninggalnya mampukah anak menjadi imam ketika ia sudah tiada. Oleh karenanya dibutuhkan suatu system islami yang menjadi substansi dalam perilaku seluruh masyarakat aceh, yang mana hal ini mampu menjadi warisan bagi generasi penerus. Akhirnya, syariat islam tidak lagi menjadi paksaan akan tetapi menjadi kesadaran yang hidup dalam diri manusia, tidak lagi dalam aturan, no ngankang, no nari yang justru menjadi cemoohan orang belaka. Sedikit mengutip pendapat Prof Yusni jangan kita mengumbar kita adalah kota dengan syariat islam ngeri kita berbicara islami sementara keadaan masih seperti ini, tapi sebutlah dan wujudkan kotamadya ini dengan kota madani. Baik faktor orang, bangunan, system semua bersifat madani. Kota yang bersih, nyaman, pendidikan yang berkualitas, bebas korupsi, penipuan, tindakan kriminal, serta masyarakat yang bersahaja menjadi dambaan setiap orang. Sehingga nantinya Aceh mampu menjadi percontohan dan titik tolak cerminan sikap islami, seperti apa substansi islami itu, bukan hanya syariat islam yang dilambangkan dengan symbol dan hukum semata. Semoga tulisan ini bermanfaat dan mampu menjadi masukkan dalam desain syariat islam di Aceh kita tercinta ini Amin.

Siti Sarah S. I.kom (yang sekarang Sudah M.Si)
Penulis Alumnus FISIP Unsyiah (Sekarang sudah alumnus UI)

Email: alsarah17@gmail.com

noted:
Ini adalah tulisan lama yang entah kenapa bisa lupa dikirimkan ke media, sebagai opini, yah tapi tidak mengapa, ini hanya tambahan wawasan dan latihan menulis.

Saturday, August 8, 2015

Pencarian-

Pencarian... hmm maknanya dalem, pencarian punya berbagai makna dan pemahaman. Pencarian keyakinan bagi mereka yg belum yakin dengan ideologinya, pencarian tujuan hidup bagi mereka yang belum menemukan passionnya, atau pencarian jodoh bagi mereka yang belum saling dipertemukan.
Ya, pencarian yang terakhir pasti bikin Blogger senyum-senyum :) apalagi ni malem, malem minggu.
Kadang ada orang yang merasa yakin kalo pasangannya adalah jodohnya, tapi ada juga yang tidak demikian, mungkin bagi mereka menghabiskan waktu tenaga dan biaya bersama kudung mengasyikkan ketimbang punya sebuah komitmen dal suatu ikatan yang dinamakan pernikahan.
Menarik memang kalau membicarakan pernikahan, dua manusia yang saling mengikat janji suci sehidup semati, perempuan akan menjadi istri dan sang pria akan menjadi suami. Sehingga akan tiba waktunya wujud cinta mereka akan terlahir kedunia dengan tangan dan kaki mungilnya dan mereka siap dipanggil ibu dan ayah.
Memang, untuk menjadi orang tua butuh persiapan, persiapan yang matang agar jauh dari kesalahan yang kudung dialami orang tua mereka dahulu yang paling tidak biar mereka yang merasakan 'kekeliruan' tersebut. Membaca salah satu kutipan adik angkatanku, "bahwa menikah bukanlah lomba", ya memang, menikah adalah rahasiaNya, menikah bukanlah prestise, tapi menikah karena sudah memiliki kesiapan secara fisik dan mentalnya (for both).
Kesiapan juga untuk menjadi yang terbaik. Si perempuan meyakinkan pria bahwa ia akan menjadi istri dan pendamping yang terbaik. Begitupun pria yang meyakinkan perempuan yang akan menjadi istri dan ibu dari anak-anaknya bahwa ia akan menjadi suami yang bertanggung jawab, memimpin, mengayomi, juga menjadi ayah yang baik, yang bisa menjadi contoh atas keberhasilan ataupun kegagalan yang dilaluinya untuk keturunannya kelak.
Pernah juga baca entah dimana, Mencari pasangan bukan hanya sekedar mencari calon suami, tapi juga mencari ayah yang tepat untuk keturunanmu kelak. Mencari pasangan bukan hanya yang cocok denganmu, tapi pastikanlah dia akan menjadi ayah yang keren untuk anak anakmu nanti ^^.
¥cerita melow di malam minggu¥